Kebijakan Pengembangan Permukiman di Indonesia


KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERMUKIMAN DI INDONESIA

A. Karakteristik dan Perkembangan Permukiman
Secara harfiah, permukiman mengandung arti tidak sekedar fisik saja tetapi juga menyangkut hal-hal kehidupan non fisik. Jadi suatu permukiman atau yang dikatakan sebagai “settlement” pada dasarnya merupakan suatu bagian wilayah tempat dimana penduduk (pemukim) tinggal, berkiprah dalam kegiatan kerja dan kegiatan usaha, berhubungan dengan sesama pemukim sebagai suatu masyarakat serta memenuhi berbagai kegiatan kehidupannya.

Didalam keberadaanya permukiman meliputi permukiman kota yaitu yang pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor-faktor perkembangan kota serta permukiman bukan kota seperti di pedesaan yang tumbuh dan berkembang di dalam pengaruh dan ditentukan oleh faktor-faktor bukan kota.

           Secara umum permukiman kota dapat dibatasi sebagai berikut:
1.     Secara demografis merupakan pemusatan penduduk yang tinggi dengan tingkat kepadatan yang tinggi dibandingkan dengan wilayah sekitarnya. Dari segi statistis ketentuan kota ini beragam di berbagai negara. Demikian pula di Indonesia selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat suatu sensus dilakukan.
2.     Secara sosiologis selalu dikaitkan dengan batasan adanya sifat heterogen dari penduduknya serta budaya urban yang telah mengurangi budaya desa
3.  Secara ekonomis suatu kota dicirikan dengan proporsi lapangan kerja yang dominan di sektor non pertanian seperti industri, pelayanan dan jasa,transportasi dan perdagangan
4. Secara fisik suatu kota dicirikan dengan adanya dominasi wilayah terbangun dan struktur fisik binaan
5. Secara geografis kota diartikan dengan suatu pusat kegiatan yang dikaitkan dengan suatu lokasi strategis
6.     Secara administratif pemerintah suatu kota dapat diartikan sebagai suatu wilayah wewenang yang dibatasi oleh suatu wilayah yuridiksi yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.


B. Perkembangan Permukiman dan Kebutuhan Prasarana
Cukup menarik untuk mengungkapkan suatu latar belakang sejarah didalam perencanaan pembangunan permukiman, khususnya permukiman kota yaitu bahwa pada awalnya yaitu pada masa kolonial dahulu, bahwa ruang lingkup perencanaan pembangunan kota atau “steedebouw” adalah perencanaan pengadaan sarana dan prasarana kota untuk suatu peruntukan yang akan dikembangkan (Nix,1949).

Bertolak dari pengertian serta tolak ukur inilah maka kalau kita amati kota-kota yang dikembangkan pada masa kolonial, terutama kota-kota yang berkualifikasi ‘stadsgemeente’atau ‘kotapraja’ , dimana umumnya dihuni oleh penduduk bangsa Eropa akan memiliki prasarana jalan dan utilitas umum seperti air bersih (waterleiding), jaringan drainase, sanitasi kota, listrik, telepon dan gas yang memadai dibandingkan dengan permukiman pedesaan atau bahkan juga dengan kota-kota yang tidak berkualifikasi ‘stadsgemeenten’seperti kota kewedanaan atau kota kecamatan.

Kenyataan ini merupakan salah satu bukti bahwa pengadaan prasarana utilitas umum merupakan suatu ukuran yang pokok di dalam pembangunan permukiman kota khususnya. Kesadaran akan kebutuhan pokok ini kemudian berkembang. Sesuai dengan Trilogi Pembangunan kita dimana pemerataan merupakan salah satu tujuan pembangunan maka sejak dicanangkannya Repelita Nasional, khususnya sejak Repelita yang ke II pengadaan sarana dan prasarana ini telah dikembangkan tidak hanya terbatas di kota besar, khususnya dalam usaha perbaikan kampung kota tetapi juga untuk permukiman pada kota-kota kecil (tingkat kota kecamatan) dan permukiman desa, seperti Program Pemugaran Perumahan Desa, Program Air Bersih Pedesaan dll.

Bertolak dari pengalaman faktual ini maka dapat disimpulkan bahwa pengadaan prasarana tampaknya akan merupakan prasyarat di dalam usaha pengembangan permukiman kota atau desa. Bahkan ada suatu pengadaan bahwa perencanaan pengadaan jaringan prasarana lingkungan akan dapat menjadi arahan di dalam penataan ruang dan pemanfaatan penggunaan lahan.

Dalam hubungan ini maka untuk mencapai efisiensi dan keefektifan pemanfaatan sumber daya alam yang ada perlu dibedakan sasaran pengadaan prasarana jalan dan utilitas umum untuk permukiman perkotaan dan pedesaan karena sifat kegiatan usaha, bobot pelayanan serta sifat sosial masyarakatnya, maka ruang lingkup, sifat dab besaran pengadaan tersebut perlu disesuaikan dengan sifat permukiman yang dikembangkan. Dalam hubungan pengaruh prasarana kepada perkembangan suatu wilayah dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1.      Prasarana yang bersifat’menggerakkan’(to generate)’ perkembangan suatu wilayah seperti prasarana jalan yang sifatnya akan menyebabkan berkembangnya suatu wilayah serta naiknya harga dan nilai lahan di wilayah tersebut
2.      Prasaran yang ‘digerakkan’ (generated) oleh perkembangan suatu wilayah seperti jaringan air bersih, drainase, sanitasi lingkungan, listrik, telepon, gas.

Dengan pandangan ini maka dapat dilihat bahwa apabila usaha pengadaan prasarana tersebut direncanakan secara terpadu antara unsur prasarana yang bersifat’generating’ dan ‘generated’ tersebut maka prasarana dapat menjadi pengarah di dalam penataan ruang.


C. Kebijaksanaan Pengembangan Permukiman
Berbeda dengan motivasi dan titik tolak berfikir tentang pembangunan kota pada jaman kolonial, dimana kota terlebih lagi kota-kota yang berstatus ‘stadsgemeente’ semata-mata dikembangkan hanya untuk kepentingan masyarakat kota saja, khususnya penduduk orang Eropa yang tinggal di kota. Oleh karena itu maka kota memperoleh keistimewaan (privileges) di dalam hal penyediaan kemudahan fasilitas dan sarananya. Keadaan ini terasa sampai saat kini dimana kelengkapan fasilitas dan berbagai sarana di wilayah perkotaan hampir dapat dipastikan lebih baik keadaanya dari pada diwilayah sekitarnya. Ketimpangan ini pulalah yang sejak kemerdekaan merupakan salah satu permasalahan yang harus segera dipecahkan apabila bermaksud untuk menghambat atau menekan aliran penduduk dari pedesaan ke kota-kota. Hal tersebut demikian karena pada jaman itu kota semata-mata hanya ditujukan untuk berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan, pusat administratur perkebunan atau hanya sekedar tempat transit barang-barang hasil perkebunan untuk diteruskan ke eropa atau pasaran dunia lainnya. Dengan kata lain agak sulit untuk memastikan adanya kekuatan ekonomi dari kota-kota, kecuali beberapa kota pantai yang memiliki pelabuhan.
Secara internal kota, sekalipun fasilitas dan sarana perkotaan lebih baik keadaannya, juga terdapat keenjangan antara bagian kawasan yang dihuni oleh kalangan elite dengan yang dihuni oleh penduduk pribumi. Kita mengenal pada kota-kota dimasa kolonial adanya wilayah-wilayah tertentu yang di dasarkan kepada pengelompokan etnis yang disebut sebagai ‘wijk’.

Pola kebijaksanaan pengembangan kota masa kini pada didasarkan kepada suatu wawasan bahwa suatu’koya’ tidak terlepas dari suatu wilayah yang lebih luas. Bahkan suatu kota seharusnya berperan penting sebagai ‘ front terdepan’ dari kemajuan wilayah dibelakangnya (Keyfitz, Nitisastro,1960). Atas dasar wawasan inilah maka kebijaksanaan dasar pengembangan kota adalah bahwa secara makro pengembangan kota harus dikaitkan dengan peranan dan fungsinya di dalam pengembangan wilayah yang merupakan pendukung pembangunan nasional. Keduanya, bahwa secara mikro pengadaan kemudahan kota senantiasa diarahkan kepada upaya pemerataan kesejahteraan bagi penduduknya dan bagi penduduk di sekeliling kota tersebut. Kota dengan wilayah sekitarnya mempunyai sifat saling bergantungan baik secara demografis, fungsional maupun secara fisis geografis.

Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan yang hanya mengutamakan kota telah menimbulkan dampak yang cukup besar seperti:
1.      Upaya pembangunan yang mengutamakan daerah kota hanya akan menimbulkan daya tarik bagi penduduk dari daerah pedesaan untuk berpindah baik secara tetap ataupun musiman,
2.      Pembangunan di kota-kota kenyataannya sangat memerlukan jumlah dana yang besar tetapi hasilnya hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduk saja,
3.      Pembangunan kota yang tidak disertai lapangan kerja yang mencukup telah meningkatkan jumlah pengangguran yang umumnya adalah juga karena pendatang yang tidak tertampung pada lapangan kerja yang terbatas.

Dengan dasar inilah maka di dalam Repelita IV ditekankan bahwa:
Pembangunan perkotaan perlu dilakukan secara berencana dengan lebih memperhatikan keserasian hubungan antara kota dengan lingkungan dan antara kota dengan daerah pedesaan sekitarnya, serta keserasian pertumbuhan kota itu sendiri.
Berlandaskan kepada dasar kebijaksanaan pengembangan kota tersebut maka konsepsi pengembangan dan perencanaan kota di Indonesia adalah :
1.      Pengembangan kota perlu didasari oleh suatu Strategi Pengembangan Kota Nasional yang menempatkan kota-kota dengan wilayah di Indonesia sebagai suatu sistem yang saling menunjang secara demografis, fungsional dan fisis geografis,
2.      Mengfungsikan kota-kota sebagai pusat pengembangan dari wilayah sekitarnya yang akan berperan sebagai agen perubahan sosial, pengembangan perekonomian dan sebagai pusat jasa distribusi bagi kota itu sendiri dan wilayah sekitarnya,
3.      Pengembangan kota-kota yang berwawasan lingkungan hidup dimaksudkan untuk dapat menjaga kelestarian serta keberadaan berbagai sumber daya yang menunjang kehidupan mengingat bahwa kota dengan wilayah sekitarnya merupakan suatu sistem fisik geografis yang saling bergantungan secara timbal balik.

Berdasarkan konsepsi umum tersebut maka kriteria teknis perencanaan pengembangan kota meliputi:
1.      Perencanaan kota dalam wawasan wilayah perkotaannya (urban area) yaitu wilayah sekitar kota yang dipengaruhi atau mempengaruhi kota tersebut desa-desa disekitar kota tersebut,
2.      Perencanaan kota dalam wawasan wilayah kewenangan administrasi pemerintah, yaitu wilayah kota yang berada di dalam kewenangan pemerintah daerah,
3.      Perencanaan bagian-bagian dari wilayah kota yang terwujudkan dalam kawasan-kawasan fungsional perkotaan seperti kawasan perumahan, pusat kota, perdagangan, perkantoran, kawasan industri, jalur hijau, rekreasi dll,
4.      Perencanaan rinci dari masing-masing kawasan fungsional yanitu yang menjabarkan secara rinci mengenai peruntukan lahan kota dan tata bangunan serta sistem jaringannya.


FOTO :
Dokumen kementerian PUPR


Related Posts:

0 Response to "Kebijakan Pengembangan Permukiman di Indonesia"

Posting Komentar