Pembaharuan
Islam Di Timur Tengah
A.
Memahami Arti Pembaharuan
Pembaruan, dalam kamus besar
bahasa indonesia bermakna gerakan umum atau hasil khusus untuk menghapuskan
kesalahan fungsi sistem yang ada di masyarakat.
Adapun pembaharuan islam di
timur tengah sendiri merupakan semangat yang dilakukan pembaharu dalam merubah
kesalah pahaman masyarakat soal agama, politik, pendidikan, kemasyarakatan dan
pemerintahan. Agar umat islam yang tertinggal juah dari bangsa Eropa pada waktu
itu bangkit dan mengejar ketertinggalannya.
Ketidakmurnian lagi agama
islam yang oleh sebagian golongan salah mengaplikasikan terhadap qada dan qodar
serta timbulya bidah-bidah dan hadis-hadis palsu. Mulai terpecahnya umat islam
pada saat itu kerena mementingkan madzhab atau golongan tertentu.
Pada abad 18, negara-negara
islam mulai tunduk pada bangsa eropa dan selalu menurutinya tanpa usaha
sedikitpun untuk membebaskan diri dari penjajah.
Dari semua sebab kemunduran
tersebut akhirnya para tokoh pembaru yang memang memiliki komitmen yang benar
terhadap Islam pun tampil. Dengan tujuan mengatasi keterbelakangan umat islam
dalam hampir seluruh aspek kehidupan dan terdorong oleh kemajuan barat dan
dampaknya.
1. Jamaluddin al-Afghani
a)
Biografi singkat
Jamaluddin al-Afghani
atau Al-Jamal Asadabadi-Din, lahir di desa asabad dekat hamadan, Iran,
pada tahun 1839. Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pemimpin pembaharuan
dalam islam yang tempat tinggalnya berpindah-pindah antar negara islam.
Pengaruh terbesarnya di Mesir, ketika baru berusia 22 tahun ia telah menjadi
pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia
menjadi penasehat Sher Ali Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh
Muhammad A’zam Khan menjadi perdana mentri. Pada masa itu inggris telah
mencampuri soal politik dalam negeri Afghanistan dan Jamaluddin al-Afghani
termasuk yang melawan golongan yang disokong inggris, pihaknya kalah dan
kemudian ia meninggalkan Afghanistan dan pindah ke India pada tahun 1869. Namun
pada tahun 1871 ia pindah ke Mesir karena India pun telah jatuh ke bawah
kekuasaan inggris.
Di kairo ia
memusatkan perhatian pada bidang alamiah dan sastra Arab. Dan rumah tempat ia
tinggal menjadi tempat pertemuan para pengikutnya, yang terdiri dari para
orang-orang terkemuka di pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa, dan juga pegawai
pemerintahan.yang diantaranya Muhammad Abduh dan Sa’ad Zaghul.
Pada tahun
1879 atas usaha Jamaluddin al-Afghani terbentuklah partai Al-Hizb al-Wathani
(partai nasional), diantara tujuan partai ini adalah memperjuangkan pendidikan
universal, kemerdekaan pers dan pemasukan unsur-unsur mesir ke bidang militer.
Tapi pada tahun 1879 Jamaluddin al-Afghani di usir oleh pemerintahan atas tekanan
inggris.
Dari mesir
Jamaluddin al-Afghani pindah ke Paris dan mendirikan perkumpulan Al-‘Urwah
al-Wusqha, anggotanya terdiri dari orang islam dari India, Mesir, Syria, Afrika
Utara, dll. Di tahun 1889 Jamaluddin al-Afghani diundang ke persia untuk
menyelesaikan persengketaan yang timbul karena adanya politik pro-inggris yang
dianut pemerintahan waktu itu. al-Afghani melihat bahwa Syar Nasir Al-Din
perlu digulingkan, tapi sebelum sempat menjatuhkannya ia telah dipaksa keluar
dari Persia. Di tahun 1986 Syah dibunuh oleh pengikut al-Afghani.
Atas
undangan Sultan Abdul Hamid, al-Afghani selanjutnya pindah ke istambul pada
tahun 1892. Bantuan dari negara-negara islam diperlukan Sultan Abdul Hamid
untuk menentang Eropa yang waktu itu kian mendesak kedudukan kerajaan usmani di
timur tengah. Akan tetapi kerjasama antara al-Afghani dan Sultan Hamid yang
mempertahankan kekuasaan otokrasi lama, tidak bisa tercapai. Ia tetap tinggal
di sana sampai wafat pada tahun 1897.
b) Pemikiran Jamaluddin al-Afghani
1.
Bangkitkan kesadaran berpolitik melawan absolutism.
Harus
dijelaskan pada massa bahwa perjuangan politik adalah kewajiban agama, bahwa
tidak ada pemisahan antara agama dan politik, bahwa setiap orang harus terlibat
dalam nasib politik Negara dan masyarakat Islam.
2. Lengkapi diri dengan sains dan
tekonologi modern.
Dominasi
barat terjadi karena keunggulan dalam sains dan teknologi. Kaum Muslim tidak
harus menolak segala hal yang datang dari barat. Mereka harus belajar dari
barat, tetapi bukan mengadopsi peradaban mereka, sains dan teknologilah yang
harus mereka kuasai.
3. Kembali pada Islam yang
sebenarnya.
Praktek-praktek
korupsi dan tambahan-tambahan yang tidak bermanfaat dalam pengamalan Islam
harus dibuang, umat harus dikembalikan kepada Al-Qur`an, Al-Sunnah,
kehidupan suci pada zaman permulaan Islam.
4. Hidupkan aqidah Islam sebagai
aqidah yang komprehensif dan independen.
Islam adalah
agama sains dan kerja keras, agama yang menuntut tanggung jawab, agama yang
memuliakan akal dan membenci takhayul. Dia menganjurkan murid-muridnya untuk
menghidupkan kembali filsafat dalam khazanah pemikiran Islam.
5. Lawan
kolonialisme asing.
Penjajah
asing di dunia Islam bukan saja mengandung implikasi eksploitasi politik,
tetapi juga dominasi ekonomi dan budaya. Kaum Muslim harus disadarkan bahwa
sekularisme adalah taktik barat untuk melepaskan pengaruh
Islam dalam
masyarakat. Harus ditegaskan bahwa kultur barat tidak akan membawa kemakmuran
manusia.
6. Tegakkan persatuan Islam.
Untuk
melawan invasi barat, kaum Muslim haruslah bersatu. Bersatu tidaklah berarti
menyatukan mazhab. Bersatu berarti menyatukan front politik dan organisasi. Ia
mengecam pembagian Islam dalam Negara-negara kecil dan mengkhutbahkan
Pan-Islamisme.
7. Hilangkan rasa rendah
diri dan rasa takut terhadap barat.
Lewat sebuah
cerita kiasan dalam Al-`uwah Al-`wustqa, ia mengingatkan kaum Muslim bahwa
ketakutan terhadap barat adalah ilusi yang dibentuk sendiri. Kaum Muslim tidak
boleh takut terhadap hingar-bingar suara barat. Diperlukan orang yang mennatang
maut untuk menjatuhkan kepongahan barat.
2. Muhammad Abduh
a) Biografi
Singkat
Muhammad
Abduh bin Hassan Khair Ullah. Lahir di desa Mahillah (Mesir) pada 1265 H/1849
M. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairillah ,seorang keturunan Turki dan ibunya
mempunyai keturunan yang nasabnya sampai pada Umar bin Khattab
(Khulafaur-rasyidin).
Orang tuanya
sangat memperhatikan terhadap pendidikan Muhammad Abduh, dalam waktu 2 tahun ia
sudah bisa hafal al-Quran, pada 1862 ia dikirim ke perguruan agama di masjid
Syeikh Ahmad yang terletak di desa Tanta, pada tahun 1866 ia meneruskan ke
perguruan tinggi al-Azhar di Cairo, di sinilah ia bertemu dengan Sayyid
Jamaluddin al-Afghani.
Ia belajar
filsafat di bawah bimbingan al-Afghani. Pada tahun 1877 studinya selesai dengan
hasil baik dan mendapat gelar alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen Al-Azhar
dan Universitas Darul Ulum.
Karena
hubungan dengan jamaluddin al-Afghani yang dituduh mengadakan gerakan menentang
Khadewi Taufik, maka Muhammad Abduh yang diduga ikut campur dalam persoalan ini
dibuang keluar kota Chairo. Tapi setahun kemudian (1880 M) ia kembali
diperbolehkan ke Chairo dan diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi
pemerintah yang bernama Al-Waqa’il Mishriyah dan dibentu oleh Sa’ad Zaglul
Pasya.
Dalam
peristiwa pemberontakan Urabi Pasya (1882) Muhammad Abduh terlibat di dalamnya
sehingga ia diusir dari mesir. Ia kemudian memilih Syria (Beirut) dalam waktu
satu tahun, kemudian ia tiba di Paris (1884) atas panggilan Sayyid Jamaluddin
Al-Afghani. Bersama Jamaluddin Al-Afghani ia mendirikan organisasi Al-‘Urwatul
Wusqha dan menerbitkan sebuah majalah yang sama dengan nama organisasinya. Dalam
majalahnya ia menyerukan agar umat islam bangkit, gebrakan ini dengan cepat
menggema di kalangan umat islam, namun kaum imperialis cemas dan gempar. Dan
akhirnya pada tahun 1884 Inggris, Belanda dan Perancis melarang majalah ini,
akhirnya Muhammad Abduh kembali ke Mesir.
Di Mesir
Muhammad Abduh menjabat sebagai mufti Mesir dan anggota Majelis perwakilan (legislatif
council), Muhammad Abduh wafat pada 1905 M dikuburkan di Alexandria.
b)
Pemikiran Muhammad Abduh
Pemikiran
pembaharuan Muhammad Abduh hampir sama dengan Jamaluddin Al-Afghani karena
kedekatannya, pemikirannya banyak menginspirasi organisasi Islam, salah satunya
Muhammadiyah, karena ia berpendapat, Islam akan maju bila
umatnya mau belajar, tidak hanya ilmu agama, tapi juga ilmu sains. di antara
pemikirannya adalah:
1. Aspek kebebasan
Dalam
memperjuangkan cita-cita pembaharuannya. Dalam hal ini Nasionalisme dan dititik
beratkan pada pendidikan. Kesadaran rakyat bernegara dapat disadarkan melelui
pendidikan, surat kabar, majalah dan sebagainya.
2. Aspek kemasyarakatan
Dalam hal
perkawinan Muhammad Abduh pada dasarnya monogami, sedangkan surah An-Nisa ayat
3 memperbolehkan poligami diikat dengan syarat adil yang menurutnya tidak
mungkin dilaksanakan oleh manusia.
3. Aspek keagamaan
Muhammad
Abduh tidak menghendaki adanya taklid agar pintu ijtihad tetap terbuka, agama
dan ilmu tidak ada pertentangan karena Al-Qur’an bukan saja sesuai dengan ilmu
pengetahuan tetapi memberikan semangat agar umat islam mengembangkannya.
4. Aspek pendidikan
Ia
memikirkan bahwa pelajaran-pelajaran agama perlu dimasukkan ke dalam sekolah
pemerintahan, begitu pun sebaliknya madrasah yang masih memakai sistem lama
dapat menyusupkan ilmu pengetahuan ke dalam pelajarannya.
3. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
a) Biografi Singkat
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
lahir pada tahun 1965 M, di al-Qalamun suatu desa di Libanon yang letaknya
tidak jauh dari kota Tripoli (Syria). Ia berasal dari keturunan Al-Hussein,
cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memekai gelar “Sayid” di depan
namanya.
Rasyid Ridha menyelesaikan
pelajaran-pelajaran muqadimat (pelajaran dasar) di bawah didikan
ayahnya. Rasyid kecil aktif menghafalkan Al Qur’an pada masa-masa itu. Kemudian
ia pergi ke Tarablus dan memasuki sekolah dasar Ar-Rasyidiyah, salah satu sekolah milik pemerintahan
Utsmani. Ia juga
mempelajari bahasa Turki dan Perancis. Pada tahun 1299 H /1882 M, ia belajar di Madrasah al-Wathaniyah yang merupakan sekolah
terkemuka di zaman itu dan pendirinya adalah Syaikh Husain al-Jisr. Namun tak lama kemudian sekolahan ini ditutup oleh pemerintahan
Utsmani. Rasyid Ridha aktif mengikuti kelas-kelas non-formal Syaikh Husain al-Jisr. Ia belajar ilmu-ilmu syariat, ilmu aqli
dan bahasa Arab dari Syaikh Husain al-Jisr. Rasyid Ridha juga mempelajari ilmu hadis
dari Syaikh Mahmud Nashyabah, Syaikh Abdul Ghani Ar Rafi’i, Mahmud Al Ghajawi, dan Muhammad al-Husaini.
Rasyid Ridha
ingin sekali bergabung dengan Jamaluddin Al-Afghani di Istambul, tapi niatnya
tidak terkabul. Sewaktu Muhammad Abduh dibuang ke Beirut Rasyid Ridha punya
kesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengannya, ide-ide dan pemikiran
al-jisr, Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh sejalan dan mempengaruhi
jiwanya.
Rasyid Ridha
mulai mencoba menerapkan ide-idenya di Suria tapi usahanya mendapat tentangan
dari pihak kerajaan Usmani, ia merasa tidak bebas dan memutuskan untuk pindah
ke Mesir pada tahun 1898, dekat dengan Muhammad Abduh.
Dua tahun
kemudian ia menerbitkan majalah yang diberi nama Al-Manar. Dalam nomor pertama
dijelaskan bahwa tujuan Al-Manar sama dengan Al-‘Urwah Al-Wusqa. Antara lain
mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas
takhayul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh islam menghilangkan faham
fatalisme, serta faham-faham salah yang dibawa tarekat tassawuf. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
meninggal dengan aman dan memeluk Al-Quran pada tanggal 23 Jumadil ula 1354 /
22 Agustus 1935.
b) Pemikiran Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
1. Bidang agama
Umat islam
harus kembali dibawa ke ajaran yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Dalam
soal muamalah, dasar-dasar seperti keadilan, persamaan, serta pemerintahan, perincian
dan pelaksanaannya, umatlah yang menentukan. Sedangkan, hukum-hukum fiqh
mengenai hidup kemasyarakatan, didasarkan kepada al-Qur’an dan Hadits.
Menghilangkan paham fatalisme, dan menggantinya dengan faham dinamika.
Ijtihad
tidaklah diperelukan dalam persoalan ibadah. Ijtihad hanya diperlukan dalam
menghadapi persoalan-persoalan bermasyarakat. Ijtihad juga tidak diperlukan
terhadap ayat dan hadits yang mengandung arti tegas, namun hanya terhadap ayat
dan hadits yang tidak mengandung arti tegas, serta terhadap persoalan-persoalan
yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits.
Untuk
mengatasi sikap fanatik, Rasyid Ridha menganjurkan terhadap toleransi
bermazhab. Yang perlu dipertahankan dalam kesamaan faham umat. Rasyid Ridha
melihat perlunya diadakan penafsiran modern terhadap al-Qur’an, yaitu
penafsiran yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan oleh gurunya yang
kemudian dikenal dengan tafsir Al-Manaar.
2. Bidang
pendidikan
Menurut
Rasyid Ridha, membangun sarana pendidikan adalah lebih baik dibandingkan
membangun masjid. Menurutnya, masjid tidak besar nilainya apabila mereka yang
shalat di dalamnya hanyalah orang-orang bodoh. Akan tetapi dengan membangun
sarana dan prasarana pendidikan, akan dapat menghapuskan kebodohan. Dengan
begitu, pekerjaan duniawi dan ukhrawi akan menjadi baik dan teratasi.
Ia juga
mengadakan berubahan kurikulum dengan melakukan penambahan materi-materi
seperti Teologi, Pendidikan Moral, Sosiologi, Ilmu Bumi, Sejarah, Ekonomi, Ilmu
Hitung, Ilmu Kesehatan dan Bahasa-Bahasa Asing dan ilmu mengatur rumah tangga.
4. Hasan al-Bana
a) Biografi Singkat
Hasan
al-Bana dilahirakan pada tanggal 14 oktober 1906 di desa mahmudiyah kawasan
buhairah, mesir. Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna adalah seorang ulama fiqh dan
hadits. Pada usia 12 tahun ia telah menghafal al- Qur’an. Hasan al-Bana lulus dari
sekolahnya dengan peringkat terbaik dan nomor 5 terbaik dari seluruh mesir.
Pada usia 16 ia menjadi mahasiswa perguruan tinggi Darul Ulum, dan
menamatkannya pada usia 21 tahun dan ditunjuk menjadi guru isma’iliyah.
Hasan
al-Bana prihatin dengan kelakuan inggris yang memperbudak bangsanya.
Kekhalifahan utsmaniyah (turki), sebagai pengayom umat islam mengalami
keruntuhan. Kekuasaan raja yang absolut dan keberadaan partai-partai pada
masa itu yang banyak terpengaruh oleh kekuasaan Inggris, merupakan hal-hal yang
mempengaruhi pemikiran politik Hasan Al-Banna sehingga Hasan Al-Banna
berinisiatif untuk mendirikan organisasi yang berjuang untuk mengembalikan
Mesir dalam kondisi yang kondusif dan menyerukan persatuan Islam yaitu Ikhwanul
Muslimin pada tahun 1928.
Pada tahun
1932 Hasan Al-Banna pindah ke Kairo, pada tahun 1938 kegiatan Ikhwanul Muslimin
mulai merambah ke bidang politik. Ketika Perang Dunia II terjadi, Ikhwanul
Muslimin berkembang lebih pesat dan menjadi organisasi penting dalam kekuatan
Mesir. Tetapi, akhirnya benturan antara Ikhwanul Muslimin dengan pemerintah
Mesir tak bisa dihindari. Mulai dari penilaian banyak anggota yang menyatakan
bahwa pemerintah Mesir telah mengkhianati kepentingan nasionalisme Mesir
sendiri. Pemerintah pun akhirnya menilai Ikhwanul Muslimin sebagai “ancaman”
dan penyergapan para tokoh IM pun terjadi. Dan pada 12 Februari 1949 Al-Banna
tertembak oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai
penembak “utusan” pemerintah.
b) Pemikiran Hasan al-Bana
Pemikiran
Al-banna yang memandang bahwa Islam adalah agama yang universal dan menyeluruh,
bukan hanya agama yang bersifat ibadah ritual saja. Tetapi Islam juga
mencangkup sosok individu, keluarga, pemerintahan dan kenegaraan.
Hasan al-Bana merupakan pendiri
Ikhwanul Muslimin, adapun prinsip dari yang bergerak berprinsip :
o Allah
tujuan kami (Allahu ghayatuna)
o Rasulullah teladan kami (Ar-Rasul
qudwatuna)
o Al-Qur'an landasan hukum kami (Al-Quran
dusturuna)
o Jihad
jalan kami (Al-Jihad sabiluna)
o Mati
syahid di jalan Allah cita-cita kami yang tertinggi (Syahid fiisabilillah asma
amanina).
5. Ali Syari’ati
a)
Biografi singkat
Ali
Syari’ati lahir 23 November 1933, di desa Mazinan, pinggiran kota Masyahad dan
Sabzavar, Provinsi Khorasa, Iran. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht-I
Kavir, di sebelah Timur Laut Iran. Dia lahir dari keluarga ulama. Ayahnya,
Muhammad Taqi Syari’ati adalah seorang ulama yang mempunyai silsilah panjang
keluarga ulama dari Masyhad. Kota pemakaman Imam Ali Ridha, Imam ke delapan
dari kepercayaan Islam Syi’ah.
Sementara
dari pihak ibu, kakeknya, Akhun Hakim, adalah sosok ulama yang kisah hidupnya
turut menginspirasi Syari’ati. Sementara pamannya, adalah murid dari ulama
terkemuka Adib Nishapuri, yang telah belajar filsafat, fiqh, dan sastra. Guru
pertama Ali Syari’ati adalah Taqi Syari’ati, ayahnya sendiri, yang memutuskan
untuk mengajar di kota Masyhad.Pada tahun 1940, Syari’ati mulai bersekolah di
Sekolah Dasar Negeri, yang bukan sekolah agama. Dan tahun 1950 ia melanjutkan
pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru selama dua tahun.
Tahun 1956,
Syari’ati melanjutkan studi di Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Dan di
tahun 1959, Syari’ati berhasil lulus sebagai sarjana Fakultas Sastra
Universitas Masyhad dengan peringkat pertama di kelasnnya.Tahun 1960, Syari’ati
mendapatkan beasiswa dari pemerintah Iran dan melanjutkan pendidikan tingkat
sarjana di Universitas Sorbonne, Prancis. Syari’ati menjadi asisten riset
Massignon (Islamolog Prancis) tahun 1960-1962 untuk menterjemahkan dokumen
berbahasa Persia, dalam menulis biografi putri Nabi Muhammad, Fatimah. Di
tempat yang sama, pada tahun 1963-1964 Syari’ati menyerap wawasan sosiologi
Islam dari Jacques Berque. Dan ia pun akhirnya berhasil meraih gelar doktor di
bidang Sosiologi dan Filsafat Sejarah Islam pada tahun 1964.
Kesibukannya sudah terlihat pada tahun 1952, ia memulai karirnya sebagai
guru di desa Ahmadabad. Dekat Masyhad, sambil terus belajar di Sekolah
Pendidikan Guru. Dan pada tahun 1950-an itu pula ia ikut dalam gerakan NRM
(Nasional Resistance Movement) cabang Masyhad, yang dibentuk oleh Mehdi
Bazargan dan aktifis sosial yang bernama Sayyid Mahmud Thaliqani. Karena
gerakan itulah, tahun 1957 ia bersama ayahnya dipenjara di Rumah Tahanan Qazil
Qal’ah, Taheran, selama 8 bulan sebagai akibat gerakan oposisinya melawan rezim
Syah Reza Pahlevi.
Pada tahun 1962-1963, dia sibuk dengan aktifitas politik dan jurnalistik. Ia
juga menjadi redaktur jurnal Iran-e Azad (free Iran) yang didirikan organisasi
Gerakan Nasional Anti-Syah di Eropa. Gerakan yang menuntut pembebasan Iran
(Liberation Movement of Iran. Tahun 1965, setelah mendapatkan gelar Doktor,
Syari’ati diterima menjadi asisten profesor di Universitas Masyhad. Ia juga
mengajar di tiga SMU dalam rangka mendirikan lembaga pendidikan.
Pada
tahun 1967, dia menjadi dosen Sejarah Islam di Fakultas Sastra Universitas
Masyhad. Sebagai sosiolog muslim, Syari’ati sering berdiskusi dengan
mahasiswanya membicarakan masalah yang dihadapi Kaum Muslim berdasarkan
prinsip-prinsip Islam. Karena pemikiran baru itu, Rezim Syah Iran menghentikan
aktivitas mengajarnya, dan pada tahun 1968 ia dipensiunkan dari Kementrian
Pendidikan di usianya yang baru 35 Tahun.
Setelah dipensiunkan ia pun pindah ke Taheran, dan kembali melanjutkan
aktivitas mengajarnya di Institut Hussainiyah Al-Irshad. Setelah pemikiran
Syari’ati berhasil disalurkan kepada masyarakat, berbagai perlawanan pun
bermunculan. Dan akhirnya pada November 1972 berdampak pengepungan dan
penutupan Institut Hussayniah Irshad oleh polisi Iran. Ia pun akhirnya diganjar
penjara di Rumah Tahanan Komitah, penjara khusus tahanan politik.
Maret
1975, Syari’ati terpaksa dibebaskan. Tapi, walaupun dibebaskan, ia tetap
diawasi dengan ketat, dan dilarang untuk menuangkan ide-idenya ke dalam buku
ataupun berhubungan dengan murid-muridnya. Tetapi, secara diam-diam ia tetap
memberikan kuliah perlawanan. Karena batasan-batasan tersebut, akhirnya
Syari’ati memutuskan untuk pergi ke London pada Mei 1977. Dengan mengganti nama
resminya Muhammad Ali Mazinani, menjadi Ali Syari’ati agar tidak terdeteksi dan
bisa lolos ke luar negeri. Juni 1977, Pouran, istri Syari’ati beserta tiga
putrinya hendak menyusul ke London. Namun, setelah menjemput dan membawa mereka
kesebuah rumah yang telah disewa Syari’ati di daerah Southampton, Inggris pagi
19 Juni 1997, Syariati ditemukan tewas di Southampton, Inggris. Pemerintah iran
menyatakan Syari’ati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya
bahwa dia dibunuh oleh polisi rahasia Iran. Syari’ati akhirnya dikuburkan di
Damaskus, Suriah. Pada 27 Juni 1977.
b) Pemikiran Ali Syari’ati
Belajar di
Perancis menjadikan pemikiran Syari’ati cenderung kepada filsafat. Dan
pemikiran yang sangat Syari’ati terkenal diantaranya Pemikiran tentang
penciptaan manusia. Penciptaan manusia adalah pemikiran Syari’ati yang
menyatakan bahwa manusia memiliki dua dimensi yang bertolak belakang. Ruh
ilahiyah yang selalu menjurus kepada kesempurnaan dan sifat asal tanah yang
rendah dan hina. Manusia juga satu-satunya makhluk yang sanggup memegang dan
mengemban amanat untuk menjadi khalifah. Karena kebebasan memilih yang
dikaruniakan oleh Allah Swt. Dan manusia mencoba berjuang untuk mendapatkan
kesempurnaan yang ia inginkan.
Manusia
juga dikaruniai dengan sifat Ilahiah, yang Smembebaskannya dari seorang basyar
atau makhluk yang hanya “berada”, menjadi insan atau makhluk yang “menjadi”.
Sifat-sifat tersebut adalah kesadaran diri yang membuka ide-ide, kemauan bebas
untuk memilih apapun dan kreativitas untuk menghadirkan hal-hal baru. Pemikiran
lainnya membahas tentang penjara yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk
menggapai kesempurnaan. Penjara Sejarah yang menjadikan manusia terpaku pada
kehidupan nenek moyang, penjara masyarakat yang menjadikan manusia terisolasi
dari dunia luar, penjara biologis yang menafikan potensi-potensi menakjubkan
yang dimiliki manusia dan penjara ego yang menghindari segala perubahan.
0 Response to "Pembaharuan Islam Di Timur Tengah"
Posting Komentar