Pengelolaan Dana Alokasi Khusus


Pengelolaan Dana Alokasi Khusus

Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara, antara lain untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara yang dilakukan untuk menjamin agar manfaat pembangunan tersebut dapat diterima semua pihak adalah melalui upaya pemberdayaan potensi SDM daerah  setempat, yaitu melalui otonomi daerah.

Salah satu perwujudan pelaksanaan otonomi daerah adalah pelaksanaan Desentralisasi Daerah, dimana kepada daerah diserahkan urusan, tugas dan wewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Melalui Desentralisasi Daerah diharapkan kemampuan pemerintah daerah untuk manajemen pembangunan menjadi lebih lincah, akurat, dan tepat. Urusan pemerintahan yang diserahkan atau didistribusikan kepada daerah disertai pula dengan penyerahan atau transfer keuangan yang terwujud dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah.
Dua peraturan perundang-undangan tentang Desentralisasi Daerah dan otonomi daerah, yaitu UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah saat ini menjadi dasar bagi penerapan struktur politik dan administrasi pemerintahan, khususnya keuangan (fiskal) di Indonesia. UU No. 23 Tahun 2014 mengatur pelimpahan penyelenggaraan sebagian besar urusan pemerintahan menjadi kewenangan daerah, sementara UU No. 33 Tahun 2004 menata kebijakan perimbangan keuangan sebagai konsekuensi atas pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah didanai dari dan atas beban APBD. Namun, di lain sisi kemampuan asli sebagian besar daerah yang tercermin dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangatlah terbatas. Oleh karena itu, kekurangannya harus dibantu oleh Pemerintah Pusat melalui mekanisme dana perimbangan yang terdiri dari DBH, DAU, dan DAK yang satu sama lain saling mengisi dan melengkapi. Berdasarkan amanat Pasal 39, UU No. 33 Tahun 2004 dinyatakan bahwa DAK dialokasikan kepada pemerintah daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Definisi operasional ini kemudian dipertegas dalam Pasal 51, PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan dimana DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan menjadi urusan daerah.
Bertolak dari terminologi DAK tersebut, terdapat beberapa konsep kunci yang berimplikasi terhadap penerapan dan perkembangan kebijakan dalam pengelolaan DAK hingga dewasa ini, antara lain : Pertama, DAK merupakan dana yang bersumber dari APBN dan oleh karenanya, penetapan besaran pagu DAK dibahas dan disepakati bersama oleh pemerintah dan  DPR dalam pembahasan RAPBN pada setiap tahun; Kedua, DAK hanya dialokasikan pada daerah tertentu. Berdasarkan hal ini maka diterapkan kebijakan untuk menetapkan daerah penerima DAK dengan kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis; Ketiga, DAK dialokasikan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Implikasinya adalah daerah penerima DAK diwajibkan menyediakan dana pendamping dari total pagu dana DAK yang diterima. Implikasi lainnya adalah dalam penetapan bidang-bidang DAK dilakukan pembahasan oleh Bappenas bersama-sama kementerian teknis untuk menilai apakah kegiatan yang diusulkan oleh kementerian teknis benar-benar urusan daerah dan sesuai dengan Prioritas nasional. Selanjutnya, hasil kesepakatan bidang DAK tersebut ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada setiap tahun.
Sejak diperkenalkan pada tahun 2001, bersamaan dengan pemberlakuan efektif Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan No. 25 Tahun 1999, DAK telah mengalami metamorfosis baik pada cakupan bidang kegiatan maupun nilai alokasinya. Dalam konteks bidang DAK, pada awalnya, DAK hanya fokus pada sektor Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur Jalan dan Irigasi, serta Prasarana Pemerintahan. Bidang-bidang tersebut kemudian mengalami perkembangan (sampai menjadi 19 bidang pada tahun 2012), kemudian kembali dilakukan penyederhanaan dan penggabungan beberapa bidang mulai tahun 2014, sampai menjadi 10 bidang pada tahun 2015.
Sementara dari sisi jenisnya, DAK mengalami metamorfosis dari hanya mencakup DAK fisik kemudian mencakup juga DAK non-fisik (mulai dialokasikan tahun 2016). Secara konsep, DAK mengalami perubahan dari hanya mengenal DAK reguler, ditambahkan DAK afirmasi, DAK infrastruktur pubik daerah (IPD) yang mulai dialokasikan pada 2016, meskipun kembali hilang pada tahun 2017 dengan memunculkan konsep baru DAK penugasan. Perubahan kebijakan terkait bidang DAK tersebut tidak terlepas dari dinamika potensi dan permasalahan di daerah, serta kebijakan di tingkat Pusat.
DAK fisik menjadi satu-satunya DAK yang selalu ada sejak 2003 sampai sekarang. Karena P2D2 sendiri mengambil percontohan pada DAK infrastruktur (fisik), maka Bantek P2D2 akan memfokuskan pengolahan data, pemetaan, sampai ke analisis hanya pada DAK fisik.
Dari sisi alokasi anggaran, transfer DAK fisik ke daerah mengalami fluktuasi, meskipun jumlah akumulatifnya terus meningkat sampai dengan tahun 2016. Pada tahun 2017, anggaran DAK fisik yang dikucurkan ke daerah kembali mengalami penurunan, meskipun dengan angka yang masih jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya.
Dari sisi anggaran, alokasi DAK tahun 2003, saat DAK pertama kali dikucurkan, hanya berjumlah Rp 2,27 triliun. Angkanya kemudian terus meningkat meski masih di bawah 20 T sampai dengan 2007. Dari 2008 sampai dengan 2014, total alokasi DAK meningkat dari 20-an T menjadi 30-an T. Lonjakan peningkatan alokasi cukup besar terjadi mulai 2015 yang mencapai Rp 58,8 T dan kembali meningkat menjadi 89,8 pada tahun 2016. Pada tahun 2017, alokasi DAK fisik mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, menjadi 58,4 T. Rincian alokasi DAK ke daerah sejak 2003 sampai dengan 2017 dapat dilhat pada grafik berikut.

Grafik Alokasi DAK 2003-2017

CATATAN: Total alokasi DAK 2016 = 207.96 T  -- Total alokasi DAK 2017 = 173.45 T



Di tengah gambaran yang dinamis, relatif terhadap Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Otonomi Khusus (Otsus), Dana Desa, dan Dana Transfer lainnya, alokasi DAK kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota), sesungguhnya tidak terlalu besar. Pada tahun 2015 sampai dengan 2017, dimana alokasi DAK sudah jauh lebih tinggi dari periode sebelumnya, porsi DAK dibandingkan total dana taransfer ke daerah masih di kisaran 8 sampai dengan 11.
Kendati hanya mengambil porsi kecil, DAK tetap dianggap penting karena sedikitnya dua alasan. Pertama, di tingkat nasional, Undang-Undang menetapkan DAK sebagai jalur penghubung bagi pencapaian prioritas-prioritas nasional. Selain itu, dalam perspektif nasional, DAK tidak hanya sekedar memperkuat kegiatan sektoral Kementerian/Lembaga (K/L) di daerah, tetapi bahkan bisa menjadi kegiatan substitusi karena minimnya kegiatan pembangunan daerah, meskipun kegiatan-kegiatan melalui jalur dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tetap berlangsung. Kedua, di tingkat daerah, melihat pola umum belanja yang menempatkan belanja pegawai dalam porsi yang dominan, DAK dapat dijadikan kompensasi atas kekurangan pembiayaan belanja modal di daerah, walaupun masih dalam jumlah yang terbatas.

Related Posts:

2 Responses to "Pengelolaan Dana Alokasi Khusus"

  1. makasih kak informasinya,sangat membantu. tentang DAK yang naiknya sangat signifikan pada tahun 2016. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. sayangnya kurang lengkap dari sumber yang terkait

      Hapus